Pengakuan kedaulatan atas kemerdekaan Negara Republik Indonesia oleh
Kerajaan Belanda pada akhir tahun 1949 menandai berakhirnya Periode
Perang Kemerdekaan 1945-1949. Pengakuan kedaulatan itu sendiri merupakan
hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, antara
Pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Belanda. Salah satu klausulnya
menyebutkan bahwa Kerajaan Belanda berkewajiban untuk mengembalikan
seluruh wilayah pendudukannya kepada Pemerintah Republik Indonesia,
termasuk Papua Barat atau Nederlands Nieuw Guinea. Di sini disebutkan
bahwa Belanda akan mengembalikan Papua Barat kepada Indonesia
selambat-lambatnya dalam jangka waktu setahun setelah pengakuan
kedaulatan.
Namun ternyata hingga 9 tahun setelah pengakuan kedaulatan,
Pemerintah Belanda tidak juga merealisasikan klausul tersebut. Demi
memperjuangkan kembalinya Irian Barat, Indonesia menempuh berbagai jalur
diplomasi, termasuk melalui UNO (United Nations Organization/Persatuan
Bangsa-Bangsa). Namun berbagai upaya tersebut mengalami jalan buntu,
sehingga Indonesia kemudian mengumandangkan Tri Komando Rakyat (Trikora)
yang intinya menuntut pengembalian Irian Barat ke Ibu Pertiwi sesegera
mungkin. Belanda meresponnya dengan memperkuat militer di Irian Barat
termasuk mendatangkan kapal induk Hr.Ms. Karel Doorman. Menanggapi hal
tersebut, Indonesia memutuskan menyelesaikan masalah Irian Barat melalui
kekuatan militer sebagai pendukung jalur diplomasi.
Sementara itu di bidang militer, Indonesia menyadari bahwa kondisi
Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) tidaklah seimbang jika
dibandingkan dengan Belanda. Untuk itulah Indonesia berupaya
mendatangkan sejumlah peralatan militer, baik pembelian baru maupun
“second hand”, dari berbagai negara sejak tahun 1958. Upaya pertama
ditempuh dengan pendekatan kepada negara-negara Eropa Barat dan Amerika
Serikat, namun tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Hal tersebut
dikarenakan “kentalnya rasa solidaritas” mereka terhadap Belanda yang
juga merupakan anggota Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO/North
Atlantic Treaty Organization) yang berbasis di Eropa Barat.
NATO yang dipimpin Amerika merupakan kekuatan penangkal terhadap
ancaman militer dari Pakta Warsawa yang dipimpin Uni Soviet. Sejak era
Perang Dingin (cold war) dimulai tahun 1949, dua kekuatan adidaya dunia
tersebut senantiasa bersaing mengembangkan pengaruh dan kekuatan
militernya di seluruh belahan dunia. Celakanya, Indonesia yang menganut
politik bebas aktif turut terseret dalam perseteruan dua raksasa
tersebut. Kemenangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Pemilu 1955
dipandang sebagai ancaman bagi dominasi Amerika di Asia Timur, sehingga
mau tidak mau lebih memilih “mendukung” Belanda, walau jelas-jelas telah
melanggar kesepakatan dalam KMB. Oleh sebab itu maka pembelian
peralatan militer oleh Indonesia yang dipandang membahayakan Belanda
terkesan dihambat.
Menghadapi kondisi yang “menghimpit” tersebut, memaksa Indonesia
“melirik” negara-negara Blok Timur, seperti Uni Soviet, RRC dan
Yugoslavia. Sejak tahun 1960 mengalirlah sejumlah besar peralatan
militer modern asal Uni Soviet ke Indonesia, dan salah satunya adalah
tank amfibi ringan PT-76 (Plavayushtshiy Tank-76).
Kelahiran PT-76
PT-76 pertama kali diperkenalkan kepada publik dan diproduksi secara
massal oleh Uni Soviet sejak tahun 1954. Desain dasarnya sebenarnya
telah dirancang sejak pertengahan Perang Dunia II. Kendaraan lapis baja
berawak 3 orang ini berfungsi utama sebagai kendaraan intai tempur di
jajaran AB Uni Soviet dan 23 negara lainnya. Kondisi geografis Uni
Soviet serta Eropa bagian tengah dan timur yang banyak memiliki
rawa-rawa, danau dan sungai besar mendasari pembuatan tank amfibi ini.
Soviet bermaksud menjadikan PT-76 sebagai ranpur terdepan yang akan
menjebol pertahanan NATO dari garis belakangnya. Kesuksesan Rommel dalam
melabrak pertahanan Sekutu di hutan Ardennes, Perancis, dan Amerika
saat memotong kekuatan militer Korea Utara di semenanjung Korea,
merupakan obsesi Soviet. Rangka dasar PT-76 kelak banyak memunculkan dan
menjadi ilham bagi pembuatan kendaraan-kendaraan tempur (ranpur)
lainnya, seperti BTR-50, panser angkut meriam gerak sendiri ASU 85 dan
kendaraan angkut peluncur rudal Frog-2.
PT-76 secara fisik memiliki bobot dalam keadaan kosong 13,5 ton dan
dalam keadaan siap tempur 14,5 ton. Agar mampu beroperasi di perairan
dalam maka tank ini hanya memiliki lapisan baja yang tipis, yaitu 14 mm
di bodi dan 17 mm di turet, tidak seperti tank sejenis di kelasnya.
Sementara itu untuk mengurangi beban penumpang, maka komandan tank juga
merangkap sebagai pengamat medan, awak meriam dan operator radio.
Dimensi baku PT-76 jika diukur tanpa meriam memiliki panjang 6,91 m,
lebar 3,14 m dan tinggi 2,21 m, kemudian ketinggian dari tanah ke kolong
tank (ground clearance) adalah 0,37 m. Jika diukur dengan panjang
meriam serta ketinggian senapan penangkis serangan udara yang terdapat
di PT-76 maka dimensinya menjadi: panjang 7,62 m, lebar 3,14 m dan
tinggi 3,70 m.
Tenaga penggerak PT-76 dihasilkan dari mesin diesel 4 silinder jenis
V-6 yang berkekuatan 240 tenaga kuda atau 1.800 rpm. Bahan bakar yang
dibutuhkan adalah 250 liter solar (HSD) kemudian 60 liter air sebagai
pendingin radiator serta menggunakan pelumas mesin jenis DCO.50 sebanyak
45 liter. Ini membuat PT-76 mampu melaju dengan kecepatan hingga 45
km/jam di jalan raya sepanjang 260 km, 30 hingga 35 km/jam di jalan
biasa dan 25 km/jam di jalan bergelombang sejauh 210 km. Kelebihan PT-76
ini terletak pada kekuatan mesinnya, karena mampu memberikan kemampuan
berenang yang baik ke arah muka sebesar 11 km/jam untuk jarak 70 km
dengan waktu tempuh 8 jam. Sedang jika bergerak ke belakang, memiliki
kecepatan hingga 5 km/jam. Itulah sebabnya mengapa PT-76 dipandang
memiliki kualifikasi sebagai tank pendarat amfibi.
Kelebihan lain dari PT-76 adalah mampu mendaki ketinggian di
kemiringan hingga 38 derajat ataupun penghalang tegak setinggi 1,06 m,
mampu berjalan stabil pada medan yang memiliki kemiringan hingga 18
derajat, melintasi parit selebar hingga 2,8 m atau melintasi turunan
hingga sedalam 0,75 m dengan besar tekanan pada permukaan 0,49 kg/cm
persegi dan dengan perbandingan daya terhadap bobot sebesar 17,5 daya
kuda/ton. Sementara itu sudut masuk saat tank akan berenang di laut,
danau atau sungai besar adalah 30 derajat dan saat keluar ke permukaan
sudut dongak moncongnya adalah 25 derajat. Sistem tenaga kelistrikan
PT-76 bersumber pada 2 buah accu (aki) yang masing-masing bertegangan 12
Volt. Sebagai sarana komunikasi, PT-76 menggunakan radio tipe R-123.
Persenjataan Yang Dimiliki
Tank PT-76 secara standard dipersenjatai dengan 2 jenis senjata,
yaitu sepucuk meriam berkecepatan rendah jenis D-56TM kaliber 76,2 mm
dan sepucuk senapan mesin koaksial jenis SG-43 kaliber 7,62 mm. Sebagai
tambahan, PT-76 juga dapat diperlengkapi dengan sepucuk senapan mesin
penangkis serangan udara jenis DShK kaliber 12,7 mm yang ditempatkan di
kubah yang memiliki sistem penggerak ganda, yaitu manual dan elektrik,
yang mampu berputar penuh 360 derajat dalam tempo 20 detik. Meriam
D-56TM memiliki panjang laras 3,315 m dan mampu menembak beruntun
sebanyak 40 kali dengan kecepatan antara 8 hingga 15 tembakan per menit
serta memiliki daya jangkau tembakan hingga 4 km.
Pada penembakan tunggal, meriam jenis ini mampu menjangkau jarak
sejauh 12,8 km. Meriam ini memiliki sudut dongak tertinggi hingga 40
derajat dan sudut terendah saat menunduk adalah 4 derajat. PT-76
mengangkut amunisi meriam sebanyak 40 butir campuran yang terdiri atas
amunisi jenis HE (high Explosive), HEAT (High Explosive Anti Tank) dan
HVAP (High Velocity Armour Piercing). Sementara itu senapan mesin
koaksialnya yang berbobot 13,8 kg dibekali 1000 butir peluru dan
tersimpan dalam 4 magasen. Senapan mesin SG-43 mampu menembak secara
beruntun 350 tembakan per menit dengan jarak efektif 2 hingga 2,5 km.
Senapan mesin ini terletak di sebelah kanan meriam. Kemudian sebagai
pertahanan diri para awak PT-76 juga dibekali dengan 18 buah granat
tangan. Khusus pada tugas-tugas operasional di malam hari, awak senapan
mesin ditunjang dengan teropong bidik jenis TSK 66.
Retrofit PT-76
Tank amfibi PT-76 secara resmi masuk ke dalam jajaran kesatuan
kavaleri APRI sejak tahun 1962. Namun karena berkemampuan amfibi maka
sebagian besar tank ini lebih banyak dioperasikan oleh Batalyon Panser
Amfibi Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL), atau yang sekarang dikenal
sebagai Batalyon Kendaraan Pendarat Amfibi Korps Marinir TNI AL. Awalnya
ranpur ini dipersiapkan untuk menunjang pelaksanaan operasi kampanye
militer terbesar dalam sejarah Indonesia, yaitu Operasi Jayawijaya, yang
akan digelar dalam rangka pembebasan Irian Barat. Pada perkembangan
selanjutnya, PT-76 secara aktif dilibatkan dalam berbagai kegiatan
operasi keamanan di dalam negeri dan operasi militer seperti Dwikora
(1964-1965) di perbatasan Indonesia–Malaysia, Operasi Seroja (1975-1979)
di Timor Timur dan Operasi Pemulihan Keamanan Terpadu di Propinsi
Nangroe Aceh Darussalam (2002-2005).
Hingga memasuki era millennium ini, tank antik eks Rusia ini masih
aktif dioperasikan oleh TNI AL dalam berbagai kegiatan penugasan dan
latihan. Namun sesungguhnya kondisi PT-76 saat ini sangat berbeda dengan
kondisi awalnya yang masih “asli” Rusia. Hal ini disebabkan adanya
penggantian sejumlah mesin utama dan persenjataan dari produk Rusia ke
produk negara-negara Barat. Keadaan tersebut tidak terlepas dari
perkembangan situasi politik yang terjadi. Pada tahun 1965 meletus
peristiwa berdarah G-30-S yang diduga didalangi oleh PKI, yang berujung
dibubarkannya partai tersebut dan dinyatakan sebagai partai terlarang.
Kebijakan pemerintah Indonesia itu kontan menuai protes keras dari Uni
Soviet dan sekutu-sekutunya, dan akhirnya dilakukanlah embargo
suku-cadang bagi PT-76. Embargo tersebut sempat menyulitkan pemeliharaan
dan perawatan tank amfibi ini, hingga terpaksa dilakukan kanibalisasi.
Namun mengingat PT-76 masih dipandang sebagai ranpur yang berperan
penting dalam menunjang kegiatan operasi keamanan, untuk itu ditempuhlah
kebijakan untuk mengganti mesin dan persenjataannya atau istilah
kerennya “retrofit”.
Retrofit atau kegiatan peremajaan dimulai sejak tahun 1990 pada
sejumlah Tank PT-76 yang masih layak pakai. Peremajaan dan modifikasi
PT-76 antara lain meliputi: – Penggantian mesin diesel 4 silinder V-6
Rusia yang berkekuatan 240 daya kuda dengan mesin diesel 2 Tak 6
silinder jenis DDA V-92 T Turbo Charge seberat 1200 kg buatan Amerika
Serikat yang berkekuatan 290 daya kuda. Penggantian ini memungkinkan
PT-76 melaju di jalan raya dengan kecepatan hingga 58 km/jam, di jalan
biasa 35 km/jam dan di medan terbuka 40 km/Jam. Meskipun demikin
kecepatan saat berenang, baik ke arah muka maupun belakang, sama dengan
spesifikasi “aslinya”. – Penggantian meriam D-56TM yang memiliki alur
dan galangan berjumlah 32 buah, dengan meriam berkecepatan tinggi
seberat 519 kg jenis Cockerill Mk.III A-2 kaliber 90 mm buatan Belgia.
Meriam baru ini memiliki panjang laras 3,248 m dengan jumlah alur dan
galangan 60 buah serta dibekali 36 butir peluru berbagai jenis. Meriam
buatan Belgia ini memiliki jangkauan tembakan sejauh 2,2 km dan pada
penembakan tunggal mampu mencapai 6 km. Adapun sudut dongak meriam ini
36 derajat dan tunduk 6 derajat. Sementara itu senapan mesin DShK
diganti dengan FN GPMG kaliber 7,62 mm buatan Belgia. Meskipun telah
berusia tua dan mengalami serangkaian peremajaan, namun PT-76 terbukti
merupakan ranpur yang handal dan “bandel”. Kiranya cukup beralasan jika
PT-76 Indonesia dijuluki “Battle Proven” alias Jago Perang yang
melegenda di lingkungan Korps Marinir TNI AL. (dikutip dari Majalah
Cakrawala TNI-AL)
About these ads
Tidak ada komentar:
Posting Komentar